11 July 2009

Mengapa Harus Baca Buku SEE YOU IN OLYMPUS?


Kata Pengantar
oleh AC Mahendra K Datu

Inilah sebuah pendekatan baru pembelajaran: Bisnis dalam dialog-dialog!

Kita semua adalah anak-anak, dan rasa-rasanya tak akan pernah berhenti menjadi anak-anak. Ada anak-anak yang berumur 35 tahun, ada yang 42 tahun, ada pula anak-anak yang berumur 57 tahun.

Semua anak suka mendengar dongeng. Yang 8 tahun suka, yang 57 tahun juga suka. Bangsa ini memang dibesarkan dengan dongeng-dongeng. Mantan Menteri Penerangan (Alm.) Budiardjo pun menawarkan hal yang sama bagi bangsa ini, “Siapa Sudi Saya Dongengi?” sebuah buku yang ditulisnya di tahun 1996 dan meledak di pasaran.

Sama halnya dengan Pak Budiardjo, pelukis senior Suwadji Bastomi pun berprinsip sama. Baginya setiap kanvas adalah tabularasa untuk menyajikan cerita, dongeng untuk menghadirkan narasi. Tak salah lagi, bangsa ini memang dibesarkan oleh kultur dongeng, kisah dan cerita.

Buku yang ada di tangan pembaca yang budiman ini bukanlah dongeng, kisah atau legenda, bukan pula kanvas lukisan tempat menggoreskan narasi. Ini adalah buku panduan berbisnis dengan efektif dan produktif. Lalu mengapa media yang dipakai adalah cerita? Alasannya sama persis dengan apa yang ada di benak Pak Budiardjo maupun Pak Suwadji Bastomi. Karena kita semua, dan itu termasuk penulis, suka didongengi, maka akan lebih mudah untuk memahami pesan apa yang hendak disampaikan oleh buku ini serta pelajaran apa yang dapat dipetik darinya melalui cerita, fragmen, dongeng, dan dialog-dialog.

Meskipun buku ini adalah kumpulan kisah dan dialog, namun kesemuanya terinspirasi oleh kejadian nyata, baik yang dialami oleh penulis sendiri maupun kolega-kolega yang dekat dengan penulis. Kasus bisnis yang riil akan menjadi bahan baku pembelajaran yang riil pula. Itu prinsip utamanya.

Lima belas cerita pendek yang penuh dialog di dalam buku ini menampilkan sosok imajiner Profesor Koko yang berencana pergi ke Olimpus, sebuah kata kiasan untuk ‘pergi ke puncak sukses’ di mana ‘dewa-dewi segala jenis bisnis’ bertahta seraya melihat ke bawah dan menemukan betapa dunia ini terlalu indah untuk diabaikan, namun terlalu rapuh untuk dihancurkan dengan kompetisi bisnis tanpa etika. Penulis berharap agar buku yang sederhana, asyik dibaca dan mudah dicerna ini bisa membuka wawasan yang lebih luas lagi bagi pembaca yang ingin menjalankan bisnis secara efektif, produktif, cerdas dan penuh kebijaksanaan.

Selamat membaca, dan sampai jumpa di Olimpus!


Salam Hangat,

AC Mahendra K Datu (author)

Catatan Editor: Buku SEE YOU IN OLYMPUS


Kita sering mendengarkan ungkapan berikut: pembeli (pelanggan) adalah raja/ratu yang harus dilayani secara total. Dan salah satu cara melayani para pelanggan digunakanlah satu alat komunikasi yang bernama automated answering. Penggunaan mesin penjawab itu bertujuan memudahkan hubungan pelanggan dengan perusahaan atau organisasi. Sistem pelayanan sudah terprogram. Sistem ini dianggap bagus meski para pelanggan terpaksa berhubungan dengan mesin yang birokratis sementara operator lebih senang ber-sms ria dengan teman-temannya atau mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan perusahaan/organisasi.
Apakah penggunaan automated answering itu sesuai dengan visi dan manajemen perusahaan? Apakah dengan menggunakan mesin penjawab maka hubungan antara para pelanggan dan perusahaan dapat dikembangkan? Menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat, perusahaan berusaha melayani para pelanggan dengan baik dan menggunakan alat-alat teknologi. Akan tetapi, penggunaaan alat teknologi semisal automated answering tidak selalu kondusif dengan keinginan para pelanggan. Manajemen perusahaan harus tahu betul keinginan tiap pelanggan. Dan untuk mengetahui keinginan itu, perusahaan sebaiknya melakukan evaluasi pada waktu-waktu yang tertentu. Janganlah penggunaan automated answering justru menciptakan “kesulitan” baru bagi para pelanggan.
Apa pun model pelayanan yang dibuat oleh sebuah perusahaan atau organisasi, hendaknyalah model itu merupakan penjabaran dari visi dan misi yang telah ditentukan pada awal pendirian badan usaha atau organisasi. Para pendukung (karyawan) akan mengetahui arah dan tujuan dan dilaksanakan secara konsisten sesuai misi. Hasil yang dicapai dapat menakjubkan, luar biasa atau mengecewakan. Pendapat itu disimpulkan oleh Jesse Stoner dalam disertasi doktornya yang berjudul Visionary Leadership, Management, and High Performing Work Units, tahun 1988 di Universitas Massachusetts, Amerika Serikat.
Hasil peneltian Stoner memang sudah lama namun masih relevan dengan persaaingan bisnis yang makin ketat sekarang ini. Dari 500 orang pemimpin perusahaan yang ditelitinya, pemimpin yang mempunyai visi yang kuat juga memiliki tim yang berkinerja yang kuat. Sedangkan pemimpin yang memiliki manajemen baik namun tidak mempunyai visi kuat maka kinerja timnya biasa-biasa saja. Dan pemimpin yang memiliki manajerial yang lemah dan tanpa visi mempunyai tim yang berkinerja yang rapuh dan sukar mencapai prestasi yang baik sesuai target.
Meski visi dan misi dirancang oleh pemilik/pimpinan sebuah perusahaan atau organisasi, pimpinan harus menyampaikannya secara rinci kepada pendukung (karyawan). Dengan demikian karyawan mempunyai kepercayaan yang dalam, selalu siap bekerja sama, saling tergantung, mempunyai motivasi tinggi, bertanggung jawab, dan konsisten melakukan tugasnya agar tercapai tujuan (target).
Oleh karena itu, setiap orang yang tergabung dalam suatu organisasi atau lembaga harus memahami visi dan misi organisasi atau perusahaan. Dengan demikian orang akan bertindak kooperatif, selalu bergerak (bekerja) menuju pencapaian tujuan, dan menghindari yang bukan tujuan. Visi dan misilah yang menginspirasi, memberi kekuatan, dan menggairahkan kita untuk mencapai tujuan sesuai dengan fungsi dan tugas yang dipercayakan pemimpin atau manajemen perusahaan/organisasi kepada kita.
Visi yang kuat dan meyakinkan mampu menciptakan karakter suatu organisasi yang kuat pula. “Kita bisa meramal masa depan yang lebih baik dengan menciptakan visi yang kuat dan berkarakter,” tandas guru manajemen Peter Drucker (almarhum).
Kita harus tetap ingat bahwa suatu organisasi didukung oleh sekumpulan orang (karyawan). Setiap orang mendistribusukan energinya masing-masing yang menyatu menjadi satu kekuatan, kepercayaan, dan satu pandangan untuk mencapai hasil yang optimal. Jika Anda bertugas sebagai sales person atau pemasaran, janganlah bertindak sebagai pedagang yang hanya memikirkan bagaimana menjual barang dagangan Anda. Visi dan misi perusahaan, Anda implementasikan dalam cara berkomunikasi dan melayani pelanggan.
Seorang mampu melaksanakan tugasnya dengan baik berkat visi yang dipahami dan jelas dari atasannya. Oleh karena itu, pemimpin yang baik—pada semua tingkat sesuai dengan struktur organisasi—akan fokus untuk melayani dan tanggap terhadap kebutuhan anggota organisasi dan sesuai dengan keinginan para pelanggan.
Apa pun status dan profesi Anda, isi buku ini (See You In Olympus) bermanfaat sebagai bekal untuk mencapai tujuan hidup Anda. Oleh karena itu, usahakanlah mengubah mindset dari paradigma lama sehingga cara pandang Anda dapat Anda sesuaikan dengan kondisi yang selalu berubah.


Depok, 13 Mei 2009

Rayendra L. Toruan
Editor – Elex Media Komputindo
KOMPAS-GRAMEDIA GROUP

Telah terbit! SEE YOU IN OLYMPUS - Buku Bisnis


Sebuah buku bisnis dengan pendekatan baru: bercerita, berdongeng, dialog-dialog dan tanpa menggurui. Pembaca diajak untuk ikut terlibat dalam situasi-situasi yang unik padat dengan dialog-dialog bisnis, mulai dari Sales & Marketing, Negosiasi, Presentasi yang efektif, Customer Service, Membaca pertanda-pertanda bisnis, Menyelamatkan bisnis dalam situasi yang berubah-ubah, dll.

Buku yang unik, ringan dibaca oleh siapapun terutama eksekutif muda yang berminat menjadi entrepreneur.



Rp. 49,800,-
Tersedia di seluruh Toko Buku GRAMEDIA, TRIMEDIA, Kinokuniya dan toko buku lainnya.

230 + xx halaman


Diterbitkan oleh ELEX MEDIA KOMPUTINDO (Kompas-Gramedia Group)


Editor: Rayendra L. Toruan (Chief Editor Elex Media Komputindo)

07 January 2009

(in Bahasa) Mencetak Uang Melalui Internet Business


Anda bisa mengetik dan memiliki akses internet di rumah? Stop waktu anda menjelajahi situs-situs yang tak bermutu dan tak bermanfaat. Alihkan energi, fokus dan keseriusan anda dengan berbisnis via internet. Anda hanya perlu tahu caranya. Temukan jawabannya di http://www.formulabisnis.com/?id=masmahe dan mulailah dengan tekun berbisnis melalui internet.


Do you have any internet access at home? You don't have to be a gadget or IT-savvy to be able to make money through internet. What you need to know is the right way, the right technnique. Find it in
http://www.formulabisnis.com/?id=masmahe
Now or never!

(AC Mahendra K Datu & Joko Susilo, ST)

16 May 2007

Sleeping and Today's Technology

Day’s off. It’s the day of the Ascension of the Lord. I almost forgot. I haven’t seen the calendar recently, and I even don’t remember that today – although holiday – I have a load list of work to do. It’s okay of not seeing a calendar, but being forgetful really scares me.

Chuck Sigars wrote: Calendars are for careful people, not passionate ones. (The World According To Chuck). I guess I buy that maxim, and I am swallowed by this maxim.

Last night I went to bed early, about at 23.00 (well, I normally have mere 5 to 6 hours of sleeping, 80% of them are considered ‘quality sleep’.

I have been used to have a short quality sleep. I tried several times to have a longer sleep and ended up having headache! But today, I wake up late, oh yes…. I overslept! I have approximately 8 hours of quality sleep, and get up without any headache.

Strange as it sounds, that human body does not necessarily follow what nature has regulated. Human body can be trained, conditioned and regulated by intention. Like what I have experienced for long time already, I feel better with 6 hours of quality sleep on my own bed rather than 8 to 10 hours of mere sleep on the bed of a nice cottage by the sea. True, life is about choices and decisions. If I want to enjoy life, I have to firstly design the ‘sleeping architecture’ to which I will build that sleeping mode: moderate, good, excellent, or superb!

I try to reflect of my quality sleeping just now with the way technology observes, researches and manufactures all means so that human body can physically rest well, not just mechanically rest. Nowadays you may find a set of bed with built-in Hi-Fi 3D surround which creates the atmosphere of nature’s sounds, bird’s singing, river’s flowing or rain’s pouring. In some cases where luxury beds for the rich society are present, you may as well find those beds swinging and rocking, to make those who lay on them feel like sleeping outdoor on the hammock.

On my mount trekking at the Appalachian Trails, Blue Ridge Mountain, West Virginia some years ago, I managed to sleep outdoor on the mouth of a small cave. To my surprise, that was one of the best sleeps I ever had! With only a sleeping bag, bugs repellant and a small FM radio, I slept like a baby, that what my trekking fellows told me.

Of course since now I am living in Jakarta where quality sleeping even at our own house is somewhat ‘endangered species’, we could only turn on the instrumental music like guitar or piano, some prefer saxophone and violin, and fantasizing that we live outdoor somewhere by the riverside of Babylon and try to have a good sleep, or else, we will just feel down and blue.

Sometimes technology helps, sometimes not. So, sleep tight, don’t let the big bad bugs bite! (May 2007)

Mr. Processor, here I am at your service!

“To err is human, but to really foul things up requires a computer”
(Farmers’ Almanac 1978)


In one fine day a friend asked me a question like this: which one is more competent in making decision: a computer, or a man who operates it. I could not but remain silent for the question was so difficult that it stopped my brain from working immediately. Another friend submitted a proposal, as he wearily spoke to both of us,” Why don’t we just ask the computer to discuss this particular matter? Perhaps it can gives advises on who’s more competent in making decision? Itself, or…. us?”

I was learning one important thing that very day. Computer becomes more human, while human becomes more mechanical and artificial. I was about to cry but no tears were left to drop, because my soul was full with foolish joy, wanting to laugh out loud.

Today, I really want to recall again that conversation. I want to make a little reunion with those two fellows I just talked about. I almost lost contact on their whereabouts, until someone else told me where I could find them. One is working at the university in town, and that’s very easy to reach him in one single call. Another one gives me a sudden migraine as he works at a computer security system company. When I begin to dial his office number, then….. my conversation with the computer processor also begins……

“Hello, Good morning. This is a so-and-so computer system company. Please press one for English, press two for Mandarin, or press three for Bahasa Indonesia”

I press three.

“Thank you! You are calling to the most sophisticated computer system company. Our company is pleased to help you, our value customers. Please press one for our products offer, press two for our services, press three for inquiries, press four for existing customers, or press five if you wish to contact our staff”

I press five.

“Thank you. Please press one for Sales Department, press two for Marketing Department, press three for Customer Services, press four for Operational Department, or press five for other departments”

I press two.

“Thank you. Our staffs in the Marketing Departments are on the lunch break at the moment. Please press one to leave your message, press two to reserve your call after one p.m., press three for operator assistance, or press four to hang up.”

I put the headset back into its place, almost fainted. I guess, as my old friend had suggested long-long ago, I will just ask for advises from my computer whether or not I should call my friend again this afternoon or not. It seems that my day is getting bluer. If I call, I will surely get my migraine back. Oh, what an age! (May 2007)

14 May 2007

Giving Example - Why is that so difficult?

Just yesterday 14 May 2007 I met and talked to a CEO of company so-and-so in Jakarta. One interesting thing about him is the way he perceives what HR Department should do to improve the company’s workforces. Here is the excerpt:

The staffs should value work-ethos more and more, otherwise they will not learn anything. He gives his own example of being ‘generous’ in giving up his own time to someone else who demands his time for just a ‘short’ phone calls. But then the phone calls are not short at all. One thing – in my opinion – is wrong here. When he generously gives her own time to someone (else), she forgets that others (maybe her staffs) who are on the long queue ‘sacrifice’ their time just to wait. Regardless to how urgent or how important the phone calls are, the modern principle of corporate worlds has been denied here, that is the so-called efficiency and effectiveness.

Stephen Covey teaches us how to become an effective individual, to ourselves and to others. This is the first step before embarking on the next: from effective to great. Leadership can translate its own term into EXAMPLE. If we give bad example, we don’t necessarily lose our leadership entitlement, simply we just add one more word before the word LEADER, that is BAD LEADER. The same thing happens when we give good example. We might be still a leader, whether we give bad or good example. But what kind of leader we want to be?

In this nano-technology age, human participation is gradually taken over by machines and artificial intelligence. We create something that potentially de-create us. Our attitude on human leadership should be firm and clear, or we might need to ask advises from a computer program on how to do something. What a crippled world!

The CEO of the company so-and-so that I met yesterday is a smart-professional, but certainly is not a noble-man by any leadership standard. I talk only about one issue here – generosity in time, and I already manage to set a conclusion about him. His time will come soon when he sees that leadership demands good examples, or else, who knows what lies ahead?

11 May 2007

Business Survival In the New Economy

Akhir dekade 80-an, sebuah tsunami teknologi chips dan digital menyerbu rumah tangga, keluar dari teritori tradisionalnya di kantor-kantor pemerintah maupun industri militer. Komputer menjadi primadona baru dan menyerbu rumah-rumah di Amerika, Eropa dan Jepang. Komputer bukan lagi merek A atau merek B, puluhan pemain lama ikut tumbuh menjadi raksasa, ratusan merek baru muncul, dan citra komputer sebagai pengganti mesin ketik mulai pudar. Dalam gelombang ekonomi baru, kecepatan berpikir serta kecerdasan sebuah komputer yang fantastis menjadikan peta persaingan perusahaan-perusahaan besar berubah drastis; ada yang bangkrut dalam semalam, ada yang menjadi kaya mendadak.
Pada masa yang hampir bersamaan siaran dan jaringan media televisi global juga membangkitkan gelombang penyadaran baru, bahwa di balik setiap tembok ada peradaban lain, ada banyak peristiwa penting yang terjadi secara simultan. Di lingkungan korporat, informasi berpindah dari kolom liability ke kolom equity, investasi besar-besaran di industri yang bermuara ke akses informasi terjadi di berbagai belahan dunia. Di lingkungan para eksekutif korporat, dampaknya sungguh dahsyat. Everybody knows everybody else, everybody knows everything. Dan mendadak hampir semua orang menjadi ahli dalam sesuatu bidang, semuanya menjadi ‘pemerhati kisah-kisah dunia’. CNN dan Peter Arnett menghadirkan Perang Teluk di ruang keluarga kita, sementara reporter-reporter yang lain mengisahkan langsung dari lokasi kejadian final Piala Dunia sepak bola, tumbangnya tembok Berlin dan rejim-rejim komunis di daratan Eropa atau runtuhnya menara kembar World Trade Center di Manhattan. Seperti tak mau kalah, BBC, NBC dan CBS pun melakukan siaran-siaran paling dahsyat dari lokasi kejadian, langsung, menarik dan otentik.
Pertengahan tahun 90-an, internet secara kolosal melanda media cetak, jauh melintasi batas wilayah Amerika sang pelopor multimedia global. Koran kertas mengalami metamorfosis menjadi referensi elektronik di dunia maya internet, disebar-luaskan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang ingin tahu kejadian-kejadian penting di seluruh penjuru dunia. Perusahaan-perusahaan besar mengganti brosur dengan website, bahkan setiap orang bisa men-download data audio-visual dari perusahaan yang ingin diketahuinya.
Masih di periode waktu yang sama, telepon genggam alias ponsel menyerbu kalangan menengah-bawah di berbagai belahan dunia. Di beberapa tempat seperti di Taiwan, Singapura dan bahkan Amerika serta Kanada (saya yakin, Indonesia akan segera menyusul), tarip pulsa ponsel hampir kira-kira semurah tarip pulsa telepon rumah (fixed-line), menjadikan ponsel sarana telekomunikasi yang murah, mudah dibawa dan trendy. Rumitnya administrasi sambungan abonemen dipermudah dengan sistem pra-bayar. Merek-merek ponsel tradisional dikeroyok merek-merek baru yang ingin meraup dolar dari pasar yang sedang panas-panasnya ini. Oligopoli berubah menjadi kekacauan pasar: chaos is the rule! Jadi, dengan dinamika Era Ekonomi Baru yang secepat ini, bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan, terutama yang berskala kecil-menengah bisa selamat, survived, dari resiko-resikonya yang tak terukur?

Gejala ‘chaos is the rule”

Di dalam The New Economy, ada satu hal penting yang perlu dipahami oleh para industrialis dan pengusaha, yakni bahwa resiko, ketidak-pastian dan perubahan yang konstan menjadi aturan mainnya, dan bukannya perkecualian. Akses, pengolahan serta pendistribusian informasi menjadi unsur penting di dalamnya. Akan tetapi pada saat yang sama, kesemrawutan lalu lintas informasi di koridor multimedia super-cepat juga bisa dimanipulasikan untuk membalikkan aturan-aturan baku maupun pola-pola konvensional mekanisme ekonomi di berbagai belahan dunia. Dan ironisnya, kesemrawutan itu justru lebih disukai, terutama oleh kalangan yang membenci pemerintahan yang proteksionistik, praktek-praktek monopoli maupun kartel. Di India, para petani bersekutu melawan tengkulak dan pemerintah daerah yang korup dengan berinvestasi di jaringan internet kecepatan tinggi dan mereka bisa memonitor harga-harga komoditi dunia secara langsung dan bahkan bisa langsung menjual ke importir asing yang mau memberikan harga terbaik. Mereka tak mau lagi hidup dikontrol oleh koperasi petani yang lebih cenderung memeras mereka.
Sementara itu kisah-kisah besar yang secara simultan terjadi di seluruh dunia juga menjadi lahan pekerjaan baru bagi kuli tinta. Mereka berlomba menciptakan opini publik dengan analisa-analisa berita termutakhir. Breaking News dan Stop Press menjadi komoditi yang laris manis: kehadirannya dinanti-nantikan oleh dunia korporasi. Tak heran bahwasanya industri telekomunikasi, multimedia dan komputer menjadi kombinasi yang sangat strategis dan berharga. Industri ini dianggap mampu menghadirkan peristiwa ribuan mil jauhnya dalam waktu yang sama, akurat dan dikemas secara menarik. Saat ini infrastruktur informasi korporat juga dibangun di mana-mana oleh hampir sebagian besar perusahaan. Tujuannya hanya satu: membangun akses jaringan informasi seluas-luasnya untuk memperbesar peluang ekonomi serta keunggulan kompetitif mereka. Di Amerika, Eropa dan Kanada, perusahaan-perusahaan besar bahkan mampu memiliki dan mengoperasikan satelitnya sendiri.
Paul Ormerod, penulis masyhur ‘Matinya Ilmu Ekonomi’ pernah menyinggung gejala-gejala di atas. Banyak hal gagal dijelaskan oleh teori-teori ekonomi mutakhir, misalnya trend industri, percepatan penemuan baru di bidang teknologi dan percepatan penetrasinya dalam industri. Dengan revolusi industri telekomunikasi, multimedia dan komputer, dunia seolah diubah menjadi spesies peradaban yang sama sekali baru. Bisnis solusi menjadi bisnis yang paling diminati dalam peradaban baru ini. Efisiensi menjadi demam di kantor-kantor, di pabrik bahkan di rumah-rumah tangga. Dari situlah lahir jargon virtual offices, paperless society, knowledge economy dan faultless system. Toleransi terhadap kesalahan diperkecil, hukumannya diperbesar. Hubungan industrial diukur dari tingkat kontribusi masing-masing pihak, sementara unsur ‘belas kasihan’ dicoba ditiadakan. Penentuan produk-produk baru tidak lagi didasarkan pada apa yang diinginkan konsumen, pabriklah yang menentukan sebaiknya konsumen menyukai produk apa saja. Katalog komparasi harga di internet dijadikan alat manipulasi, karena toh para pabrikan besar sepakat untuk mengatur harga di dalam pasar artifisial. Tampak seperti sebuah dunia yang tertib, teratur dan nyaris sempurna!
Bila kita sepakat untuk menilai bahwa perkembangan teknologi telekomunikasi, multimedia dan komputer mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan cepat dan akurat di dalam Era Ekonomi Baru ini, mengapa justru lebih banyak masalah baru timbul olehnya? Mengapa banyak perusahaan bangkrut di usia dini? Mengapa kartel dan oligopoli tumbuh bak rumput liar? Mengapa para eksekutif berpindah-pindah tempat kerja dengan berbagai ketidak-nyamanan? Mengapa birokrasi perkantoran menjadi makin rumit? Mengapa pula garis komando korporat jadi makin panjang dan berbelit? Ketika pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan dalam sebuah forum dialog bisnis di Singapore beberapa waktu lalu, seorang panelis menanggapinya dengan enteng. Katanya, tak ada yang baru dalam The New Economy. A new economy with an old attitude, ... just the same banana! (Majalah WARTA EKONOMI Ja. 2007)

Efficiency Redifined


Saat launching pesawat Boeing Next Generation 737-900ER (ER: Extended Range) dilakukan di Washington State dengan Lion Air dari Indonesia menjadi Launching Customer, di berbagai sudut hangar hingga rampway yang bersebelahan dengan danau Washington terlihat banner-banner raksasa bergambar seri terbaru Boeing 737-900ER dengan mottonya: Efficiency Redefined. Boeing seri 737-900ER ini diklaim oleh pembuatnya terbang lebih jauh dan lebih irit serta dapat memuat lebih banyak penumpang. Kampanye mendefinisikan ulang makna ‘efisiensi’ rupanya berhasil. Hingga Juni 2006 telah tercatat pesanan tak kurang dari 3300 unit pesawat seri Boeing Next Generation 737 series, sebuah jumlah yang fantastis.

Dari Washington State mari kita menuju Indonesia, negeri yang hiruk pikuk dengan jargon-jargon efisiensi, namun sebenarnya hanya sedikit saja yang yang mengerti betul apa maksudnya, apanya yang di-efisienkan, dan mengapa harus begitu.

Ambil ilustrasi ini. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir city cars menyerbu jalanan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Atas nama efisiensi dan mengikuti trend, para industrialis mobil mengeluarkan produk mobil ber-CC kecil yang hemat bahan bakar, mudah dapat tempat parkir, namun tetap bertenaga dan lincah. Dengan city-car ini efisiensi di bahan bakar dan waktu jelajah tetap terjaga, sementara karena dibuat massal spare parts-nya jadi mudah didapatkan dan harganya relatif murah, layanan purna jual terdapat dimana-mana. Karena murah jadi mudah jual.

Contoh lain terdapat pada industri elektronika gadgets seperti ponsel, kamera digital, PDA maupun komputer jinjing. Kini dengan mengeluarkan uang sebesar 3 sampai 4 juta-an rupiah, seorang eksekutif kelas menengah sudah bisa memiliki ponsel, kamera digital, PDA dan pengolah dokumen dalam genggaman telapak tangan, kesemuanya hanya dalam satu benda yang bernama Smart-Phone. Bahkan ada beberapa model yang memiliki lampu senter serta fasilitas penyimpanan data semacam flash-disk. Penulis tak akan terkejut bila dikemudian hari sebuah Smart Phone mampu menggantikan sebuah Universal Remote Control yang bisa mengunci pintu rumah, menyalakan TV dan mesin mobil, bahkan dipakai untuk voting di Pemilu Langsung.

Contoh lain lagi terdapat dari produk house-hold consumables seperti shampo. Saat ini daripada repot-repot beli shampo dan conditioner dalam kemasan terpisah, pabrik-pabrik toiletries sudah menakarkan untuk kita dengan ukuran tepat shampo + conditioner 2-in-1 dalam satu botol kemasan. Di mini market yang jumlahnya ribuan, terdapat kopi + gula + susu atau creamer dalam satu sachet kemasan, dan ini tentu memudahkan orang yang ingin menikmati kopi kesukaannya tanpa harus takar-menakar terlebih dahulu.

Berdasarkan trend-trend yang disebutkan tadi, maka efisiensi bisa berarti 1) instan (yang dihemat adalah waktunya), 2) lengkap fungsi (hemat tenaga untuk mendapatkan fungsi-fungsi lain yang ‘biasanya’ tidak termasuk dalam produk itu), 3) peningkatan nilai dengan ongkos yang sama (penghematan finansial), 4) bisa juga berarti ‘sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui’.

Siapa sih yang paling berkepentingan ‘mendefinisikan ulang’ efisiensi? Apakah konsumen yang dengan sadar dan sengaja meminta lebih dan lebih banyak lagi dari produsen? Ataukan karena persaingan usaha yang semakin brutal sehingga para produsen memanjakan konsumen secara berlebih? Dalam hubungan kausalitas, selalu ada tindakan satu pihak yang mendahului tindakan pihak lain. Dalam hal ini, kalau tidak konsumen, ya produsen. Dengan demikian dalam dunia korporat, efisiensi harus di-redefinisikan dari waktu ke waktu, lepas dari apakah itu untuk kepentingan konsumen atau produsen. Semakin efisien, peluang untuk bertahan hidup makin besar. Economize, or perish!

Ada satu pengalaman menarik. Baru-baru ini saya membeli laptop dengan merek yang cukup ternama di sebuah raksasa ritel di Jakarta. Dari harga banderol pabrik yang sudah saya observasi, harga promosi laptop tersebut terbilang amboi, selisihnya sekitar satu jutaan rupiah. Dengan pertimbangan 3 hal, yakni harga promosi, merek ternama, dan kelengkapan feature teknis, hari itu juga saya langsung putuskan untuk beli. Seminggu kemudian dalam sebuah pameran komputer akbar di bilangan Senayan, laptop dengan merek dan model yang sama persis dijual dengan harga sangat miring, dengan selisih harga lebih dari sejuta rupiah dari harga yang saya bayarkan seminggu sebelumnya, dan itu masih ditambah dengan berbagai aksesorisnya.

Tentu saja saya jengkel. Konspirasi macam apa yang bisa membuat harga laptop turun 15%-20% dalam kurun waktu seminggu dan pabriknya tetap untung besar? Namun setelah saya pikirkan kembali dan mencoba berdiri dari sudut pandang produsen, pemberian diskon gila-gilaan dengan volume kuantitas yang sangat besar juga bisa berarti efisiensi. Dalam kondisi normal, laptop dengan merek dan model tersebut mungkin hanya mampu terjual paling banyak 2 hingga 5 buah seminggu dari satu outlet. Dengan diskon besar-besaran, satu outlet bisa menjual hingga seratus unit dalam waktu seminggu, dan dalam sebuah pameran, jumlah yang sama akan dilahap dalam tiga hari saja!


Jadi, apa definisi termutakhir dari kata “efisien”? Apakah melulu soal waktu, biaya, energi, atau kelengkapan fungsi? Bagaimana kaitannya dengan efektivitas? Hasil guna? Apakah efisiensi sekarang harus dipisahkan dari efektivitas? Apakah saat ini kalau sudah efisien lalu otomatis berarti efektif? Seorang eksekutif SDM yang saya temui dalam sebuah training mengatakan kepada saya demikian, “Kalau kita mau bicara efisiensi yang sempurna, kecuali divisi keuangan dan accounting, lebih baik semuanya di-outsource saja. Investasi paling efisien adalah pada sistem. Bila mekanisme dalam sistem baik, unit-unit yang lain tinggal mengikuti dan patuh pada sistem. Kita bahkan tak perlu memiliki unit-unit itu secara langsung. Outsource saja!” Nah lo! (Majalah WARTA EKONOMI Oct. 2006)

Berita Kepada Konsumen

Dalam dunia pemasaran, ada suatu tehnik atau seni menginterpretasikan pesan. Mengapa tehnik ini diperlukan? Logikanya, hanya pesan yang sudah berhasil di-interpretasikan-lah yang bisa dengan tepat disampaikan atau disalurkan. Jadi, menyampaikan pesan bukan sekedar menduplikasi informasi apa adanya. Dalam banyak hal – dan disinilah letak seninya – pesan yang berupa informasi ini diubah menjadi sesuatu yang lebih ‘membumi’, yakni berupa rekomendasi atau peringatan dini.

Mari kita lihat bersama ilustrasi ini: sebuah SMS dikirim dari lantai bursa di WallStreet, pesannya pendek – “Saham ENRON rontok per jam 10.12 pagi ini”. Pesan pendek SMS yang nilai pengirimannya setara dengan 300 rupiah pagi itu memicu kekelaman WallStreet hari itu. SMS itu diteruskan ke berbagai penjuru dunia, ke ribuan investor saham, ke kantor-kantor berita, dan akhirnya tak hanya WallStreet yang berubah wajah. London, Frankfurt, Tokyo, Sao Paulo, Hong Kong dan Johanesberg menyusul kepanikan Manhattan Selatan. Semuanya telah membaca pesan pendek yang sama: “Saham ENRON rontok per jam 10.12 pagi ini”. Interpretasinya: Jual saham ENRON sekarang juga, berapapun harganya!

Kita bisa menyampaikan pesan kepada siapa saja dengan berbagai cara. Pertanyaannya adalah, efisienkah cara itu? Dan juga apakah pesan itu di-interpretasikan secara benar sesuai harapan kita? Ketika saya masih tinggal di Amerika dan Kanada, saya belajar menilai efisiensi dan efektifitas penyampaian pesan melalui analogi kisah para koboi di The Wild-Wild West. Sejarah kaum koboi ratusan tahun lalu menggambarkan mereka memakai pistol revolver berpeluru enam biji sebagai senjata saat berkelahi. Dengan revolver berpeluru enam biji itu bagaimana mereka harus putar otak dalam menghadapi sepuluh bandit yang sama-sama bersenjata. Akurasi, fokus dan kecerdikan menjadi penentu kemenangan sang koboi. Bahkan bila beruntung, dia cukup menembakkan satu atau dua peluru saja untuk membunuh seorang bandit, dan membuat yang lainnya lari ketakutan. Membunuh satu, menteror yang lain. Ini yang saya sebut “pesan yang sangat efisien”. Akurat dan cepat.

Dengan analogi serupa, saya menggambarkan ‘koboi-koboi’ jaman sekarang berbeda. Mungkin karena malas, mereka lebih suka memakai senapan otomatis berpeluru curah yang sekali tembak akan menyemburkan puluhan peluru per-detik, padahal musuhnya cuma seorang. Hasilnya, sang musuh memang mati, tragis dan mengenaskan dengan puluhan lubang di dada, perut, paha, kepala, lengan, bahu, dan pantatnya. Seandainya saja ia berkonsentrasi pada kepala atau jantung sang bandit, dia mungkin cuma perlu satu peluru untuk melumpuhkannya. Inilah seni menyampaikan pesan yang unik dan efisien, tanpa harus menghambur-hamburkan uang terlalu banyak. Memang ada beberapa kasus di mana memakai ‘senapan peluru curah’ menjadi sangat efektif, tapi itupun harus memakai perhitungan serta perencanaan yang matang.

Penulis pernah mengobrol dengan seorang agen properti yang memasarkan jasanya via sms. Dia menargetkan pengiriman ke tiga puluh nomor handphone per-hari, atau rata-rata enam ratus nomor per bulan. Artinya dalam perhitungan logis, dia harus menyisihkan uang kira-kira setara dengan 180 ribu rupiah per-bulan untuk biaya kirim sms. Menurutnya, ini adalah pilihan yang paling efektif dan efisien, karena setiap bulan dia bisa mendapatkan minimal satu deal bisnis yang nilainya akan meniadakan arti 180 ribu rupiah tadi. Bisa dibayangkan bila dia harus membuat brosur sebanyak 600 lembar yang biaya cetaknya tak murah, lalu masih harus berdiri membagi-bagikan brosur itu ke setiap orang yang dijumpainya. Pembuangan energi, waktu dan dana yang percuma, berkesan kurang profesional, dan tak terfokus. Perhitungannya adalah, dari 600 orang, 10% akan merespon dan mungkin 5% membuat janji bertemu untuk diberi presentasi. Dan, sim salabim! Inilah 5% yang kita tunggu-tunggu itu! Sebenarnya inilah 5% yang perlu kita buatkan print-out presentasi kita, melalui mana produk atau jasa kita akan dipasarkan.

Ketika saya tanya apa isi SMS-nya, dia lalu mengirim contoh SMS ‘peluru curah’-nya yang sedikit agak panjang ke HP saya. Pesannya:

“Beautifull house on sale. 620/ 230, 4 Bedrooms, 2 shower rooms, 1 garage, unlimited refill of peacefull mind. East Campden, Denver, CO. Call. Xxxx…” (teks aslinya banyak memakai akronim).

Berdasarkan pengalamannya, beberapa klien potensial yang menghubunginya justru tertarik dengan kata-kata terakhir, “….unlimited refill of peacefull mind”. Mereka tak lagi tertarik untuk menanyakan berapa ukuran tiap kamar, apa warna wallpapernya, bahkan lantainya terbuat dari apa. Mereka hanya ingin tahu, apa sih maksudnya “unlimited refill of peacefull mind” ? Ketertarikan inilah yang membuat banyak klien potensialnya setuju untuk melihat sendiri properti yang ditawarkannya. Inilah gerbang pertama untuk deal bisnis bernilai ratusan ribu dolar…. Selanjutnya, kata agen properti itu, gerbang kedua akan dibuka sendiri oleh sang calon pembeli yang kagum akan rasa humor kita, ketulusan dan kejujuran kita (sincerity), serta jaminan (assurance) bahwa mereka sedang dihadapkan pada tawaran investasi yang tak akan bikin pusing kepala.

Hingga saat ini masih banyak pemasar yang berkutat di permasalahan metodologi penyampaian pesan ini. Yang menjadi pertanyaan adalah: pesan apa yang ingin kita sampaikan ketika kita memasarkan produk kita? Ini bukan sekedar urusan anggaran dan metodologi pemasaran. Bila kita mengerti betul nilai dan karakter pesan yang akan kita teruskan ke konsumen, barangkali kita tak akan terlalu lama berkutat ke hal-hal metodologisnya. Kita bisa membisikkan, meneriakkan, menulis atau melagukan kata-kata “kecapku paling enak dan nomor satu”, tetapi tanpa menterjemahkan secara lebih sederhana dalam bahasa konsumen mengapa mereka harus sepakat bahwa kecap kita memang paling enak dan nomor satu, upaya kita hanya akan sia-sia.

Penulis melihat iklan-iklan TV di Amerika jauh lebih kasar lagi, karena secara terang-terangan beberapa produk dikonfrontasikan dengan produk sejenis buatan pesaingnya. Bahasa iklan yang konfrontatif seperti itu bisa diterjemahkan konsumen sebagai pesan dengan tabiat tak santun. Di Amerika, itu sangat mempengaruhi perilaku konsumen dalam memutuskan merek apa yang akan mereka beli. Anggota-anggota PETA (kelompok pembela hak-hak binatang di Amerika) akan mati-matian menjatuhkan citra pabrik kosmetik yang memakai binatang sebagai objek eksperimen di laboratorium. Sama halnya dengan kelompok pecinta lingkungan Green Peace yang pernah menggalang kampanye besar-besaran anti Exxon yang insiden kecelakaan kapalnya – Exxon Valdez - mencemari sebagian besar perairan di Alaska. Kelompok-kelompok kepentingan seperti ini kaya raya, punya pengaruh di masyarakat, dan jangan lupa, suara mereka di dengar di Kongres. Jadi bila ingin menyampaikan pesan yang bisa diterjemahkan dengan baik sesuai keinginan kita, pakailah bahasa yang santun pada konsumen, bahkan bila perlu sedikit dibumbui humor-humor menggelitik. Siapa bilang konsumen tak punya rasa humor? Kalau mereka semua kaya raya, mereka akan borong semua humor yang anda jual!

Pesan yang sama atas produk yang juga sama bisa diterjemahkan berbeda pada komunitas dengan budaya dan kebiasaan berbeda. Kenyamanan bantal sintetik yang laku terjual di Singapura belum tentu bisa dijual di Indonesia. Kehangatan jaket musim dingin dari bulu angsa di Skandinavia belum tentu bisa dijual di Canada, atau kelezatan gudeg Yogya yang renyah dan manis belum tentu diterima di Makasar atau Bandung. Pahami produknya, pahami calon konsumennya, pastikan kita dapatkan momentumnya, pelajari isu-isu yang beredar pada saat itu, lihat juga kita punya apa untuk dipamerkan, lalu marilah kita duduk dan mulai bicarakan: berita besar apa yang ingin kita siarkan kepada konsumen? (Majalah WARTA EKONOMI Sep. 2006)

Deman VERCOLISH - Versatile, Compact and Stylish


“Vercolish!” – Versatile, Compact and Stylish! Itulah trend paling mencolok dari perkembangan hardware komputer saat ini. Paduan antara teknologi, ke-praktis-an, dan gaya pada seonggok plastik dan logam yang bernama hardware komputer. Bila sepuluh tahun lalu satu teknologi, atau satu model bisa bertahan hingga 3 tahun-an, saat ini periode umur teknologi dan juga modelnya tergolong pendek, bahkan dalam satu tahun bisa mengalami hingga dua-tiga kali. Bagi konsumen yang tahu kapan waktu yang tepat untuk membeli komputer, tentu ini akan sangat menguntungkannya karena umumnya setiap kali model dengan teknologi baru muncul, yang lama langsung jatuh harganya. Namun bagi kebanyakan konsumen hal ini bisa menjadi sumber kekecewaan karena seolah-olah dipermainkan oleh para industrialis.

Lepas dari hal itu, pola pertumbuhan serta perkembangan teknologi hardware komputer sebenarnya sudah terbaca, dan berdasarkan oleh itu pula, bisa saya paparkan ilustrasi trend-trend-nya untuk tahun 2007-2008.

Personal Computer. Soal PC, jangan pernah anggap enteng komputer rakitan. PC rakitan bahkan berani beri garansi lebih lama daripada yang branded dan karena rakitan, kompatibilitasnya dengan berbagai komponen besutan manufacturer lain sangat tinggi. Perkiraan kasar yang saya dapat dari berbagai media 70% dari pangsa pasar PC nasional adalah PC rakitan. Brand awarness memang tumbuh pesat, namun trend pertimbangan konsumen lebih bergeser ke arah affordability dan functionality, bahkan untuk kelas korporat sekalipun. Faktor pendukungnya adalah bahwa PC rakitan lebih murah, model tak kalah bagus, kalau rusak mudah diperbaiki, dan komponen-nya mudah didapat. Selain itu PC rakitan ‘dianggap’ tidak melawan HAKI atas merek atau model tipe tertentu dari pabrikan yang sudah mapan.

Notebook: Tahun depan notebook akan memiliki standard kelengkapan fasilitas Wi-Fi, Bluetooth & long-life batery (di atas 2 jam) dan untuk memudahkan mobilitas, berat tak bisa lebih dari 2.2 kg dengan layar favorit WXGA (Wide Extended Graphic Array/ layar lebar) ukuran 12 s/d 14.1 inci. Bagi kebanyakan orang layar ukuran 15 inci, apalagi yang bukan wide screen dipandang boros tempat dan tampaknya kurang diminati. Integrated web-cam sudah mulai di-tanamkan pada beberapa merek, dan tampaknya trend dua tahun ke depan akan mirip handphone keluaran terkini yang menanamkan kamera mega-pixel sebagai kelengkapan standard. Perkiraan saya, gabungan pangsa pasar Toshiba dan Acer kemungkinan besar masih akan menguasai pasar notebook branded tahun 2007 (antara 65%-70%), meskipun merek-merek baru keluaran lokal dan Cina sudah mulai unjuk gigi.

Storage Memory – SD-MMC (serta versi mininya) akan tetap menjadi pilihan publik sebagai auxiliary memory (memori eksternal) terfavorit karena kompatibilitasnya dengan berbagai gadgets, kamera digital dan pemutar lagu MP3. Sedangkan tipe thumb-drive atau yang lebih dikenal dengan Flash Disk akan tetap populer sebagai pelengkap PC, baik desktop maupun notebook di tahun-tahun mendatang karena terbukti tahan banting dan mulai dikembangkan untuk bisa menampung data lebih besar dari 2 GB. Awal tahun depan jangan heran bila Flash Disk kelas 512 MB sudah mulai sulit didapatkan, apalagi yang 256 MB. Jangan pula terkecoh dengan garansi ‘seumur hidup’ karena toh rata-rata produk SD-MMC dan Flash Disk itu akan obsolete (berhenti diproduksi) setelah kira-kira 3 tahun, dan dengan demikian garansi secara otomatis hilang setelah obsolete. DVD-RW untuk tahun depan masih akan kesulitan menggerogoti pasar CD-RW karena banyak yang merasa belum membutuhkan burn data hingga 4,7 GB ke dalam satu keping disk. Justru pasar masih menunggu diluncurkannya BlueRay yang berkapasitas antara 20 GB hingga 50 GB per-keping. Penantian ini tampaknya akan segera terwujud tahun depan, dan semester II tahun 2007 kemungkinan besar harga Blue Ray akan menjadi makin kompetitif.

Konektifitas. Kabel akan makin tergusur dari ruang-ruang kantor dan rumah tangga. Transfer data nir-kabel baik itu melalui Wireless LAN maupun fasilitas hotspot akan menjadi trend paling panas tahun 2007. Penyedia hardware pendukung teknologi konektifitas mesti memperhatikan hal ini, karena reliabilitas transfer tanpa kabel sangat rentan terhadap hambatan fisik (misal tembok antar ruang atau antar lantai, interferensi dari gelombang radio liar yang kebetulan berfrekuensi sama atau mendekati sama, dan daya jangkau tansceiver-nya). Jadi hardware yang berkualitas, sedikit mahal tak masalah, akan menjadi incaran para eksekutif IT di perusahaan-perusahaan. External USB Bluetooth Device yang mengklaim berdaya jangkau 100 meter pun pada kenyataannya itu berarti 100 meter tanpa hambatan apapun (misalnya di lapangan atau aula besar). PCMCIA-CDMA atau akan mulai digemari untuk dipasangkan dengan notebook ketimbang HP CDMA dengan kabal data.

RAM. RAM 256 MB akan jadi penghuni museum purbakala. Dengan diintegrasikannya kemampuan grafis dan multimedia tingkat tinggi yang menuntut memori lebih besar, prediksinya tahun 2007 adalah bahwa di setiap Notebook dan PC standard minimum RAM adalah 512 MB bahkan bila Windows VISTA jadi diluncurkan awal tahun depan, maka RAM 1 GB dan expandable hingga 2 GB adalah harga mati. Mainboard yang mendukung hal itu pun kemungkinan besar akan muncul tahun depan.

Processor. Untuk server, Intel Xeon atau AMD Opteron dengan minimum 2 GB Standard Memory dengan clock speed min 2.6 GHz akan menjadi pilihan perkantoran menengah ke atas yang memerlukan tak hanya reliabilitas processing bagi sistem ERP mereka, tetapi juga bagaimana data-data bisa diakses secara serentak tanpa ada gangguan kecepatan akses yang berarti. Prediksi saya, standard memori minimum 2 GB yang expandable sampai 12 GB masih akan bertahan karena faktor harga yang relatif stabil dan juga reliabilitas. Chipset 2.6 s/d 3.0 GHz yang tertanam dalam processor sekelas Intel Xeon (dual CPU) kemungkinan besar belum akan berevolusi. Sedangkan untuk PC desktop dan notebook, prosesor sekelas Dual Core dan Core2Duo akan menjadi standard notebook yang kemungkinan besar pada semester kedua 2007 sudah menjadi semacam ‘kebutuhan pokok’ yang karena diproduksi massal harganya tak jauh beda dengan yang single-core.

Hardware lain dan Accessories. Tampaknya LCD monitor mulai menggeser monitor tabung (CRT) karena harganya semakin murah, bahkan ada yang di bawah 2-jutaan untuk layar 15 inci. Beberapa LCD monitor telah diintegrasikan dengan multimedia speaker dan web-cam berkualitas baik. Bersiap-siaplah untuk booming permintaan pada semester dua tahun depan, karena umumnya paruh kedua tiap tahun adalah siklus global dimana teknologi baru mulai diwacanakan dan purwarupanya (prototype) sudah di-launching.

Trend bisnis: Vercolish! Vercolish! And Vercolish! Versatile (mudah diubah-suai), Compact (ringkas) dan Stylish (penuh gaya). Bahkan asesoris pun sudah bergeser ke arah estetika desain, jadi bukan sekedar fungsionalitas saja. Apple Macintosh sudah merintisnya sejak belasan tahun lalu dengan menggabungkan teknologi dan gaya. Ini bukan soal konsumen yang pelit belanja komputer, tapi soal selera. Bila kita tahu bahwa konsumen punya selera, tak ada yang menghentikan mereka untuk bahkan berhutang demi membeli hardware yang harganya selangit. Alamak! (Majalah SWA Dec. 2006)

Your Gadget, Your Loyal Staff!


Ini cerita dua tahun yang lalu. Sebuah handphone unik diluncurkan di pasar Jepang, saking uniknya handphone itu, media massa menyebutnya sebagai fusi antara teknologi tinggi, teknologi yang bersahabat, serta teknologi yang mendukung efisiensi bekerja karena sifat multi-tasking-nya. Katanya, handphone itu mampu menggantikan banyak peralatan kantor dan pribadi, mudah untuk dipakai berkomunikasi melalui media multi-platformnya, bisa ber-internet-ria, bisa terima dan kirim email, fax, bahkan bisa juga dipakai sebagai radio komunikasi dua arah jarak menengah, bisa dipakai untuk mengawasi suatu lokasi secara visual (surveilance function), merekam pembicaraan bahkan rapat hingga lebih dari satu jam, dan menjadi sekretaris pribadi yang handal.

Di Jepang, orang-orang menyebutnya handphone pintar. Di lain tempat mereka menyebutnya ‘smartphone’, gabungan antara handphone, kamera digital dan PDA (personal digital assistance). Masih katanya, ini bukan sekedar smartphone biasa, karena dengan teknologi ‘push to talk’-nya, handphone ini juga memudahkan cara berkomunikasi tanpa biaya. Saat itu saya memang belum melihat sendiri seperti apa bentuk maupun ketangguhan handphone jenis itu, tetapi saya yakin, inilah teknologi telekomunikasi portabel yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang, tepatnya para pebisnis yang tak terlalu kaya raya tetapi sangat menghargai efisiensi dan produktifitas bekerja. Hari ini, cerita soal smartphone dua tahun lalu sudah jadi cerita basi. Smartphone kini berevolusi menjadi ‘Very-Very-Smart Phone’, dan saking cerdasnya jenis handphone itu, banyak yang sudah terlanjur beli lalu menjadi kecewa karena tak begitu tahu bagaimana cara memfungsikannya. So complicated!

Kini komputer memang merambah banyak sendi kehidupan di kota-kota besar. Alat elektronik seperti walkman menjadi ‘terlalu besar’ untuk ukuran jaman sekarang dengan masuknya chip-chip komputer yang berukuran mikro. Yang disebut gadget pun kini makin tak jelas. Peng-kategorian semacam itu tak lagi relevan. Sebuah smartphone ‘push to talk’ misalnya, apakah anda akan mengkategorikannya sebagai handphone, PDA, atau sekedar handy talkie (HT)? Masuknya unsur komputer ke dalam dunia bisnis serta kehidupan pribadi para pebisnis juga telah mengaburkan batas atas siapa-siapa saja yang ‘boleh’ disebut businesman: seorang yang memiliki usaha di gedung mewah beberapa lantai dengan puluhan hingga ratusan karyawan serta unit-unit komputer lengkap dan moderen, ataukan dia yang sendirian menjalankan bisnisnya dari sebuah kamar kost berukuran 3 x 4 meter dengan memakai smartphone di atas, sebuah laptop serta sebuah all-in-one printer kecil? Bagaimana kita bisa membedakannya bila keduanya sama-sama beromset 5 milyar rupiah sebulan?

Bila kita peka terhadap perubahan evolusioner yang seolah tak terbaca jaman tetapi sudah terjadi sejak lebih dari satu dekade lalu, mestinya jangan sampai kita hanya menjadi penonton saja. Era komputer saat ini telah memungkinkan banyak orang menjadi entrepreneur muda di mana puncak sukses mereka dicapai dalam kurun waktu yang relatif singkat, dan semuanya itu dilakukan bersama dengan komputer yang disembunyikan dalam berbagai gadget yang mereka bawa sehari-hari: handphone/ smartphone, PDA, laptop, kamera digital, memory disk, dll.

Bagaimana dengan kita yang hidup dikelilingi oleh gadget-gadget itu? Akankah kita memanfaatkan handphone kita hanya untuk berkirim SMS atau chatting? Bagi yang memiliki PDA, apakah benda-benda pintar itu hanya akan dipakai sebagai kalkulator sekalian pamer saat belanja ke Mal, atau sekedar pemutar musik digital? Mengapa banyak orang memboroskan ratusan ribu rupiah untuk berkirim SMS yang tak perlu, padahal anda bisa berteman dengan banyak orang yang di kemudian hari bisa saja menjadi mitra usaha ataupun klien anda. Sudahkan anda kirim foto produk anda melalui MMS ke calon customer anda?

Memanfaatkan teknologi yang makin murah, makin pintar dan beragam fungsinya memang gampang-gampang susah. Kadang alasan kita membeli sebuah gadget, apapun itu bendanya, hanya karena orang lain ramai-ramai membelinya. Sering terjadi bahwa kita tak tahu mengapa kita memilih gadget-gadget itu selain karena bentuk serta warnanya yang penuh gaya. Kita mungkin melihat gadget sebagai asesoris gaya hidup kita. Konsekuansinya, kita hanya akan jadi konsumtif dengan cara pandang itu.

Bila kita ingin benar-benar menjadi entrepreneur sekaligus ‘free-rider’ di jalan raya informasi dengan memanfaatkan gadget-gadget yang kita miliki, kita pertimbangkan dahulu beberapa hal ini: pertama, kita harus benar-benar tahu apakah gadget itu bisa mendukung rencana serta jalannya bisnis kita, kedua, bila memang perlu dibeli, gadget itu harus benar-benar layak beli: intinya kontribusinya harus jelas, dan ketiga, ikuti terus perkembangan informasi mengenai upgrade yang bisa dilakukan terhadap gadget itu sehingga bisa kita optimalkan fungsinya. Mari kita kupas secara ringkas satu-persatu.

Yang pertama, kita memang harus meluangkan waktu mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kebutuhan gadget kita. Bila anda akan bekerja di rumah atau kamar kost, sebuah laptop plus printer all-in-one (printer, scanner, copier) akan lebih cocok karena banyaknya fungsi yang bisa dilakukan serta murahnya biaya pembelian. Atau sebuah PDA yang memiliki konektivitas Bluetooth bisa dipasangkan dengan handphone dengan kemampuan GPRS/ MMS. Dua gadget itu sudah cukup untuk menyusuri alam maya internet, dan kalau ada fasilitas Wi-Fi, tentu akan lebih dahsyat lagi. Dengan banyaknya gadget yang mendukung berbagai jenis fungsi, sekarang ruang kerja bisa dipersempit karena semuanya dibuat serba kecil tetapi makin pintar.

Yang kedua, gadget yang dibeli harus diperhitungkan bahwa ia memiliki kontribusi yang terukur terhadap perkembangan (bisa dibaca: omzet) bisnis kita, sehingga gadget itu boleh dimasukkan sebagai asset, bukan cost. Intinya, gadget itu harus bisa membiayai dirinya sendiri. Yang ketiga, rajin-rajinlah mencari informasi baik itu melalui tabloid, majalah maupun internet mengenai upgrade atau tips-tips yang bisa kita manfaatkan untuk mengoptimalkan atau meng-upgrade gadget anda. Upgrade itu bisa berupa aksesoris tambahan, software ataupun trick-trick yang dilakukan oleh banyak mahasiswa-mahasiswa komputer di seluruh dunia yang membagikan ‘penemuan-penemuan’ mereka secara cuma-cuma kepada siapapun melalui internet. Mari kita jadikan gadget-gadget yang ada di sekitar kita sebagai mitra usaha kita. Jangan terlambat mempertimbangkan, karena pesaing anda mungkin sudah melakukannya setahun-dua tahun lalu. Tanya kenapa? (Majalah SWA Nov. 2006)

You Are the Office. Invest in it!


Dalam sebuah perjalanan antar negara bagian dari New York ke Connecticut sepuluh tahun yang lalu penulis terjebak kemacetan luar biasa, dan kendaraan penulis terhenti tepat di bawah papan iklan raksasa sebuah produk asuransi. Bunyinya begini: You are an asset. Insure yourself! (Anda adalah aset. Asuransikan diri anda!). Iklan ini sangat pas, langsung menohok ke jantung pertahanan konsumen: anda adalah aset, makanya hati-hati, jangan sampai kena stroke, masuk rumah sakit dan tak bisa bayar. Sangat intimidatif dan efektif.

Kini, sepuluh tahun kemudian, semuanya sudah berubah. Perusahaan asuransi tak perlu lagi pasang baliho besar-besar, masyarakat sudah tahu akan pentingnya asuransi. Semua juga sudah mahfum bahwa mereka adalah aset yang layak untuk “diasuransikan”. Namun sebagian lainnya mulai berpikir, kalau aset diasuransikan, maka hal itu membebani, sehingga faktor asuransi bisa mengubah aset menjadi liabilitas. Untuk itu harus ditemukan sebuah cara agar aset ini juga bisa di-“eksploitasi” agar tidak menjadi beban. Jadilah komunitas ini menciptakan motto: You Are The Office. Invest in Yourself! (Anda Adalah Kantor. Investasilah Pada Diri Anda!).

Mungkin mustahil untuk mengatakan hal itu sepuluh tahun lalu. Tapi silakan pembaca berimajinasi: artikel yang anda baca ini diketik di sebuah PDA dengan keyboard lipat seukuran bungkus rokok, dikirim ke printer sebesar kamus bahasa Inggris via Bluetooth, tercetak jelas dan dilipat, dimasukkan ke dalam amplop lalu dikirim ke redaksi. Ini baru separuh dari pertunjukan teknologi Mobile Office. Di lain kesempatan penulis mengirimnya via email atau fax melalui PDA dan ponsel dari airport atau kafe di mal.

Perkembangan teknologi komputer memang pesat: makin kecil, canggih bisa dikenakan dan di bawa jalan-jalan tanpa ada yang tahu bahwa kita membawa sebuah ‘kantor’ yang berfungsi lengkap. Di awal tahun 90-an Micheal Hawley - peneliti di Media Lab, sebuah unit riset di Massachussetts Institute of Technology (MIT) - mengerjakan sebuah projek bernama Project Things That Think. Tujuannya membuat komputer-komputer kecil yang bisa ditempel atau dikenakan di tubuh. Dia ingin mem-fungsikan komputer kecil di arloji, di sabuk, di sepatu, di penjepit dasi, dll. Banyak yang menertawakannya. Namun bagi Hawley, evolusi sebuah komputer mainframe sebesar traktor menjadi sebuah PC di atas meja sudah cukup meyakinkannya bahwa bahkan PC-pun masih bisa diperkecil lagi.

Seorang kolega Hawley di Media Lab bahkan sudah merintis komputer mikro yang bisa dipakai ditubuh agar ketika dua orang bersalaman, mereka tak hanya secara verbal bertukar nama berkenalan, tetapi juga secara elektronik saling memberikan jutaan kode informasi mengenai diri mereka, hobi, profesi serta minat masing-masing. Seorang kolega Hawley lainnya melakukan riset tentang kacamata yang juga berfungsi sebagai layar monitor.

Itu sepuluh tahun yang lalu. Kini hanya Hawley dan para koleganyalah yang bisa tertawa. Semua mimpi mereka telah dipatenkan serta dimanifestasikan oleh industri-industri hi-tech dan dibawa ke hadapan kita hari ini dengan harga terjangkau!

Dengan sebuah PDA berfungsi lengkap, sebuah SmartPhone (ponsel cerdas), dan didukung oleh infrastruktur telekomunikasi nirkabel yang sudah lumayan baik di Jakarta ini, praktis kita bisa menjadi “kantor maya”. Alamat kantor kita? Cukup ditulis, http://www..... bla…bla….bla….. Alamat surat kita? Bagaimana kalau slamet@yahoo.com? Untuk urusan transaksi keuangan cukup dilakukan secara on-line melalui internet banking. Rapat dengan klien? Bukan soal! Kafe-kafe di Jakarta sudah menyediakan bagi kita “ruang-ruang rapat mini” yang sejuk, interiornya afdol dan hidangan kopinya sedap selangit. Sebagian kafe melengkapi servisnya dengan hot-spot, istilah teknis bagi jaringan nirkabel Wi-Fi bagi para pengguna PDA atau laptop.

Akhir tahun lalu penulis menghadiri pertemuan komunitas pemakai PDA di sebuah kafe di Jakarta. Banyak profesional muda ada di sana dengan PDA dan smartphone-nya.. Inilah embrio yang mewakili sebuah evolusi besar-besaran atas apa yang disebut sebagai “kantor”. Dari sebuah benda dengan empat sisi dinding, kantor diubah menjadi unit-unit independen yang bergerak kesana-kemari sembari mengerjakan berbagai jenis dan fungsi pekerjaan yang sebelumnya hanya bisa dilakukan di dalam kantor. Pendek kata, PDA Community sedang ber-evolusi menjadi sebuah Mobile Office Community! Hambatan ruang dan waktu diperkecil, jaringannya diperbesar.

Penulis pernah menetap tujuh tahun di Singapura, negeri mungil yang karena saking mungilnya ruang perkantoran menjadi barang langka dan mahal. Setiap wirausahawan yang merintis bisnis atas dasar keahlian spesifiknya lebih menyukai virtual office daripada harus menyewa kantor betulan yang mahal. Ini cara yang paling aman karena mereka belum memiliki basis klien yang terpeta. Logikanya, mereka baru buka bisnis, jadi mereka belum bisa mengukur seberapa jauh servis atau dagangan mereka bakal laku.

Umumnya setelah bisnis mereka berkembang, sebagian besar masih tak mau menyewa kantor. Yang mereka lakukan adalah ‘mengorbankan’ satu ruang tidur di apartemen mereka sebagai ‘ruang kerja’. Di ruang kerja itu semua peralatan IT (teknologi informasi) untuk berkomunikasi dengan klien atau sumber informasi lainnya dipasang. Ini serupa dengan prinsip SOHO (Small Office Home Office). Namun ada satu masalah: mereka tetap terikat dengan sarana kerja di dalam rumah. Mobilitas masih terhambat. Beberapa dari mereka mulai tergerak untuk meniru kolega-kolega mereka di Bangalore, India, di mana konsep fisik kantor ditransformasikan menjadi lebih dinamis, yakni mobile office itu tadi.

India yang dipenuhi gelandangan dan potret-potret kemiskinan di kota-kota besarnya justru dibanjiri para gadget savvy, para profesional muda yang mengandalkan peralatan-peralatan digital mini yang mereka bawa untuk menjalankan bisnis. Sebuah PDA berbasis Palm telah dikembangkan oleh sebuah perusahaan lokal di Ahmedabad dengan harga murah, dan dipakai oleh para petani teh, tembakau, kedelai dan kapas untuk berkoneksi via internet pedesaan subsidi pemerintah lokal. Setiap hari mereka memantau harga-harga komoditi dunia untuk memastikan bahwa harga jual hasil pertanian mereka didasarkan pada nilai yang kompetitif vis-à-vis harga pasar global. Dengan kondisi seperti itu, jangan harap kita bisa mengibuli para petani dengan harga-harga komoditi yang “disangga-sangga”. Apa yang dilakukan secara ‘seadanya’ di India ini juga telah dilakukan di Taiwan, Cina, Malaysia dan beberapa negara berkembang lainnya. Potensi di Indonesia sangat menjanjikan. Didukung oleh pangsa pasar yang sangat besar dan membengkaknya jumlah kelas menengah di tanah air, harga-harga instrumen IT bisa ditekan. Dengan banyaknya supplier, pilihan menjadi lebih banyak. Hanya yang murah yang laris, kualitas masih bisa ditolerir.

Manajemen perkantoran berbasis komputer memang takkan pernah berhenti ber-evolusi. Beberapa profesional muda yang kreatif melihat jelas peluang ini. Mereka tidak harus menjadi pemain langsung dalam industri yang tumbuh pesat ini, tetapi cukup menjadi pemboncengnya. Saat ini sektor bisnis yang ikut berkembang bersama konsep mobile office sudah cukup banyak. Seorang internet-marketer asal Indonesia di Amerika bisa berpenghasilan ribuan dolar hanya dengan menjadi ‘penghubung’ antara penjual dan pembeli. Dia tidak perlu menjadi pemilik barang dagangannya sendiri, karena memang dia tidak terlatih menjadi produsen atau supplier. Dia hanya berinvestasi di prasarana IT yang lengkap – tak harus yang mahal – ditambah keahlian dia yakni pemasaran. Keahlian itulah yang disalurkan melalui cara-cara yang sophisticated, melalui internet marketing. Dia tak perlu mendirikan kantor agen pemasaran. Dialah sang kantor itu.

Para pembaca pun bisa melakukan hal yang sama. Bila anda seorang profesional seperti pengacara, dokter, arsitek, atau konsultan keuangan, anda berpotensi ikut menyelami evolusi mobile office dan sukses besar di sana. Tugas anda hanya menginvestasikan sebagian dari penghasilan anda untuk membeli prasarana IT dan belajar mengoptimalkan fungsi-fungsi mereka. Anda bukan sekedar otak yang berjalan, tetapi juga sebuah kantor yang berjalan-jalan. Klien-klien anda bisa menemui anda kapan saja, di mana saja, dalam cara bagaimana saja. Dan yang penting, anda telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi evolusi mobile office milenium ke-tiga, sebuah kantor yang tidak perlu menimbun sampah kertas dokumen, yang tidak memboroskan listrik dan logistik, tidak perlu membayar office-boy atau cleaning service. Anda tak perlu keluarkan uang untuk sewa kantor atau bayar pajak bumi dan bangunan. Tetapi jangan lupa, bahwa anda tetap harus bayar pajak atas penghasilan anda. (Majalah SWA Sep. 2004)

27 February 2006

S.O.H.O Revolution rules!

Small Office Home Office (SOHO) has ruled the new world. I controll my own business from home (well, not even a place called 'home', rather a small 3 x 4 square meter room. Now I have learned that what was called 'distance' is now no longer miles or kilometers, but rather 'how many clicks away'.
Benefits of SOHO?
Cost efficiencey, total controll of information and transactions, wider network with no boundaries. Just like BLOG, SOHO is one letter with C.C. to the WORLD.
SOHO rules!

= powered by Luxorient=